Kujang
Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.
Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis
dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk
melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata,
alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.
Menurut Sanghyang siksakanda ng karesian pupuh XVII, kujang adalah senjata kaum petani dan memiliki akar pada budaya pertanian masyarakat Sunda
Deskripsi
Kujang dikenal sebagai benda tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda)
yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa
peneliti menyatakan bahwa istilah "kujang" berasal dari kata kudihyang
(kudi dan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti
manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi.
Kudi
diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai
kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk
menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga
disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari
bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di
dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904
: 405-406). Sementara itu, Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian
Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang
mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam
ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda
Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.
Secara umum, Kujang mempunyai
pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal
dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga
saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan
masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan
niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai
sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta
pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama
dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda
Propinsi Jawa Barat.
Di masa lalu Kujang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai
peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang
Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di
beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang
memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih
dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan
Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan,
teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun
mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari
sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang
memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai
simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal
saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.
Bagian-bagian Kujang
Karakteristik sebuah kujang
memiliki sisi tajaman dan nama bagian, antara lain : papatuk/congo
(ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian
punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata
(lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk
karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya
bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.
Dalam Pantun Bogor sebagaimana
dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-2000), kujang memiliki beragam
fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain :
Kujang Pusaka (lambang keagungan dan pelindungan keselamatan), Kujang
Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak (sebagai alat upacara) dan
Kujang Pamangkas (sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk
bilah ada yang disebut Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan),
Kujang Ciung (menyerupai burung ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung
kuntul/bango), Kujang Badak (menyerupai badak), Kujang Naga (menyerupai
binatang mitologi naga) dan Kujang Bangkong (menyerupai katak).
Disamping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit
dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.
Mitologi
Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah yang sangat luhur terhadap Kujang sebagai;
Ku-Jang-ji rek neruskeun padamelan sepuh karuhun urang
Cara-ciri Manusia ada 5
- Welas Asih (Cinta Kasih),
- Tatakrama (Etika Berprilaku),
- Undak Usuk (Etika Berbahasa),
- Budi Daya Budi Basa,
- Wiwaha Yuda Na Raga ("Ngaji Badan".
Cara-ciri Bangsa ada 5
- Rupa,
- Basa,
- Adat,
- Aksara,
- Kebudayaan
Sejarah Bentuk Kujang
Nilai Kujang sebagai sebuah jimat
atau azimat, pertama kali muncul dalam sejarah Kerajaan Padjadjaran
Makukuhan dan Panjalu. Tepatnya pada masa pemerintahan Prabu Kudo
Lalean(disebut juga Prabu Kuda Lelean di tanah Sunda dan Kerajaan
Panjalu Ciamis). Prabu Kuda Lelean / Kudo lalean juga dikenal sebagai
Hyang Bunisora dan Batara Guru di Jampang karena menjadi seorang petapa
atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi).
Sejak itu, Kujang secara
berangsur-angsur dipergunakan para raja dan bangsawan Kerajaan itu
sebagai lambang kewibawaan dan kesaktian. Suatu ketika, Prabu Kudo
Lalean tengah melakukan tapa brata di suatu tempat. Tiba-tiba sang prabu
mendapat ilham untuk mendesain ulang bentuk Kujang, yang selama ini
dipergunakan sebagai alat pertanian.
Anehnya, desain terbaru yang ada di
benak sang Prabu, bentuknya mirip dengan Pulau “Djawa Dwipa”, yang
dikenal sebagai Pulau Jawa pada masa kini. Nah, setelah mendapat ilham
itu, segera prabu Kudo Lalean menugaskan Mpu Windu Supo, seorang pandai
besi dari keluarga kerajaan. Ia diminta membuat mata pisau seperti yang
ada di dalam pikiran sang Prabu. Mulanya, Mpu Windu Supo gusar soal
bentuk senjata yang mesti dibuatnya. Maka sebelum melakukan pekerjaan,
Mpu Windu Supo melakukan meditasi, meneropong alam pikiran sang prabu.
Akhirnya didapatlah sebuah bayangan tetang purwa rupa (prototype)
senjata seperti yang ada dalam pikiran Kudo Lalean.
Setelah meditasinya usai, Mpu Windu
Supo memulai pekerjaannya. Dengan sentuhan-sentuhan magis yang
diperkaya nilai-nilai filosofi spiritual, maka jadilah sebuah senjata
yang memiliki kekuatan tinggi. Inilah sebuah Kujang yang bentuknya unik,
dan menjadi sebuah objek bertenaga gaib. Senjata ini memiliki 2 buah
karakteristik yang mencolok. Bentuknya menyerupai Pulau Jawa dan
terdapat 3 lubang di suatu tempat pada mata pisaunya. Inilah sebuah
senjata yang pada generasi mendatang selalu berasosiasi dengan Kerajaan
Padjadjaran Makukuhan.
Bentuk Pulau Jawa sendiri merupakan
filosofi dari cita-cita sang Prabu, untuk menyatukan kerajaan-kerajaan
kecil tanah Jawa menjadi satu kerajaan yang dikepalai Raja Padjadjaran
Makukuhan. Sementara tiga lubang pada pisaunya melambangkan Trimurti,
atau tiga aspek Ketuhanan dari agama Hindu, yang juga ditaati oleh Kudo
Lalea. Tiga aspek Ketuhanan menunjuk kepada Brahma, Vishnu, dan Shiva.
Trinitas Hindu (Trimurti) juga diwakili 3 kerajaan utama pada masa itu.
Kerajaan-kerajaan itu antara lain Pengging Wiraradya, yang berlokasi di
bagian Timur Jawa; Kerajaan Kambang Putih, yang berlokasi di bagian
Utara Jawa, dan Kerajaan Padjadjaran Makukuhan, berlokasi di Barat.
Bentuk Kujang berkembang lebih jauh
pada generasi mendatang. Model-model yang berbeda bermunculan. Ketika
pengaruh Islam tumbuh di masyarakat, Kujang telah mengalami reka bentuk
menyerupai huruf Arab “Syin”. Ini merupakan upaya dari wilayah Pasundan,
yakni Prabu Kian Santang(Dikenal juga dengan Nama Prabu Borosngora ,dan
Bunisora Suradipati dari kerajaan panjalu), yang berkeinginan
meng-Islamkan rakyat Pasundan. Akhirnya filosofi Kujang yang bernuansa
Hindu dan agama dari kultur yang lampau, direka ulang sesuai dengan
filosofi ajaran Islam. Syin sendiri adalah huruf pertama dalam sajak
(kalimat) syahadat dimana stiap manusia bersaksi akan Tuhan yang Esa dan
Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Dengan mengucap kalimat syahadat dan
niat di dalam hati inilah, maka setiap manusia secara otomatis masuk
Islam.
Manifestasi nilai Islam dalam
senjata Kujang adalah memperluas area mata pisau yang menyesuaikan diri
dengan bentuk dari huruf Syin. Kujang model terbaru seharusnya dapat
mengingatkan si pemiliknya dengan kesetiannya kepada Islam dan
ajarannya. Lima lubang pada Kujang telah menggantikan makna Trimurti.
Kelima lubang ini melambangkan 5 tiang dalam Islam (rukun Islam). Sejak
itulah model Kujang menggambarkan paduan dua gaya yang didesain Prabu
Kudo Lalean dan Prabu Kian Santang. Namun wibawa Kujang sebagai senjata
pusaka yang penuh “kekuatan lain” dan bisa memberi kekuatan tertentu
bagi pemiliknya, tetap melekat.
Dalam perkembangannya, senjata
Kujang tak lagi dipakai para raja dan kaum bangsawan. Masyarakat awam
pun kerap menggunakan Kujang sama seperti para Raja dan bangsawan. Di
dalam masyarakat Sunda, Kujang kerap terlihat dipajang sebagai
mendekorasi rumah.
Konon ada semacam keyakinan yang
berkait dengan keberuntungan, perlindungan, kehormatan, kewibawaan dan
lainnya. Namun, ada satu hal yang tak boleh dilakukan. Yakni memajang
Kujang secara berpasangan di dinding dengan mata pisau yang tajam
sebelah dalam saling berhadapan. Ini merupakan tabuatau larangan. Selain
itu, tidak boleh seorangpun mengambil fotonya sedang berdiri diantara 2
Kujang dalam posisi tersebut. Kabarnya, ini akan menyebabkan kematian
terhadap orang tersebut dalam waktu 1 tahun, tidak lebih tapi bisa
kurang.
Rujukan
Kujang - Antara Falsafah dan Mitologi Sunda
Kujang
adalah salah satu senjata khas dari daerah Jawa Barat, tepatnya di
Pasundan (tatar Sunda). bentuk senjata ini cukup unik, dari segi
desainnya tak ada yang menyamai senjata ini di daerah manapun, senjata
ini di Jawa Barat. Tidak adanya kata yang tepat untuk menyebutkan nama
senjata ini ke dalam bahasa International, sehingga Kujang dianggap sama
pengertiannya dengan “sickle” (= arit / sabit), tentu ini sangat
menyimpang jauh karena dari segi wujudnya pun berbeda dengan arit atau
sabit. Tidak sama juga dengan “scimitar” yang bentuknya cembung. Dan di
Indonesia sendiri arit atau sabit sebetulnya disebut “chelurit”
(celurit). Mungkin untuk merespon kendala bahasa tersebut, tugas dan
kewajiban budayawan sunda, dan media cetak lokal di tatarsunda yang
harus lebih intensif mempublikasikannya senjata Kujang ini ke dunia
International.
Asal muasal istilah Kujang berasal dari kata
"Kudihyang" dengan akar kata "Kudi" dan "Hyang". "Kudi" diambil dari
bahasa Sunda Kuno yang memilii pengertian senjata yang mempunyai
kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya
untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini
juga disimpan benda pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari
bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu
di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu,
1904 : 405-406) Sedangkan "Hyang" dapat disejajarkan dengan pengertian
Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang
mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam
ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa
Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”. Secara umum, Kujang
mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu
yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak
dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus
di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol
dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang
dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi
serta pemerintahan
BAGIAN BAGIAN KUJANG
- Papatuk (Congo); bagian ujung kujang yang runcing, gunanya untuk menoreh atau mencungkil.
- Eluk (Siih); lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang sebelah atas, gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh.
- Waruga; nama bilahan (badan) kujang.
- Mata; lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang yang pada awalnya lubang- lubang itu tertutupi logam (biasanya emas atau perak) atau juga batu permata. Tetapi kebanyakan yang ditemukan hanya sisasnya berupa lubang lubang kecil. Gunanya sebagai lambang tahap status si pemakainya, paling banyak 9 mata dan paling sedikit 1 mata, malah ada pula kujang tak bermata, disebut “Kujang Buta”.
- Pamor; garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang disebut Sulangkar atau Tutul, biasanya mengandung racun, gunanya selain untuk memperindah bilah kujangnya juga untukmematikan musuh secara cepat.
- Tonggong; sisi yg tajam di bagian punggung kujang, bisa untuk mengerat juga mengiris.
- Beuteung; sisi yang tajam di bagian perut kujang, gunanya sama dengan bagian punggungnya.
- Tadah; lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang, gunanya untuk menangkis dan melintir senjata musuh agar terpental dari genggaman.
- Paksi; bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukkan ke dalam gagang kujang.
- Combong; lubang pada gagang kujang, untuk mewadahi paksi (ekor kujang).
- Selut; ring pada ujung atas gagang kujang, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman gagang kujang pada ekor (paksi).
- Ganja (landéan); nama khas gagang (tangkai) kujang.
- Kowak (Kopak); nama khas sarung kujang.
Di antara bagian-bagian kujang
tadi, ada satu bagian yang memiliki lambang “ke-Mandalaan”, yakni mata
yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini disesuaikan dengan banyaknya tahap
Mandala Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah 9 tahap, di antaranya
(urutan dari bawah): Mandala Kasungka, mandala Parmana, Mandala Karna,
Mandala Rasa, Mandala Séba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar,
Mandala Agung. Mandala tempat siksaan bagi arwah manusia yang ketika
hidupnya bersimbah noda dan dosa, disebutnya Buana Karma atau Jagat
Pancaka, yaitu Neraka.
SEJARAH PERKEMBANGAN KUJANG
Kujang sangat identik dengan Sunda
Pajajaran masa silam. Sebab, alat ini berupa salah sastu aspek
identitas eksistensi budaya Sunda kala itu. Namun, dari telusuran kisah
keberadaannya tadi, sampai sekarang belum ditemukan sumber sejarah
yang mampu memberitakan secara jelas dan rinci. Satu-satunya sumber
berita yang dapat dijadikan pegangan (sementara) yaitu lakon-lakon
pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun itulah kujang banyak
disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang terhitung masih
lengkap memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor sumber Gunung
Kendeng sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor ini sampai akhir
abad ke-19 hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor marginal
(pinggiran), yaitu masyarakat pedesaan. Mulai dikenalnya oleh kalangan
intelektual, setelahnya tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang Belanda yang
besar perhatiannya kepada sejarah Pajajaran) melahirkan buku berjudul
Moending Laja Di Koesoemah, berupa catatan pribadinya hasil mendengar
langsung dari tuturan juru pantun di daerah Bogor sebelah Barat dan
sekitarnya. Pemberitaan tentang kujang selalu terselip hampir dalam
setiap lakon dan setiap episode kisah serial Pantun Bogor, baik fungsi,
jenis, dan bentuk, para figur pemakainya sampai kepada bagaimana cara
menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan konotatif yang memakai
kujang-pun tidak sedikit. Contoh kalimat gambaran dua orang berwajah
kembar; “Badis pinang nu munggaran, rua kujang sapaneupaan” atau
melukiskan seorang wanita; “Mayang lenjang badis kujang, tembong pamor
tembong eluk tembong combong di ganjana” dsb. Demikian pula bendera
Pajajaran yang berwarna “hitam putih” juga diberitakan bersulamkan
gambar kujang “Umbul-umbul Pajajaran hideung sawaréh bodas sawaréh
disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan”.
Di masa lalu Kujang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai
peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang
Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang
di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang
memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih
dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan
Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan,
teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun
mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari
sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang
memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang
bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang
kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.
Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran
sampai sekarang, kujang masih banyak dimiliki oleh masyarakat Sunda,
yang fungsinya hanya sebagai benda obsolete tergolong benda sejarah
sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan kepada keberadaan leluhur Sunda
pada masa jayanya Pajajaran, di samping yang tersimpan di
museum-museum.
Pengabadian kujang lainnya, banyak
yang menggunakan gambar bentuk kujang pada lambang-lambang daerah, pada
badge badge organisasi kemasyarakatan atau ada pula kujang-kujang
tempaan baru (tiruan), sebagai benda aksesori atau cenderamata.
Selain keberadaan kujang seperti
itu, di kawasan Jawa Barat dan Banten masih ada komunitas yang masih
akrab dengan kujang dalam pranata hidupnya sehari-hari, yaitu
masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” (tersebar di wilayah Kecamatan
Bayah Kabupaten Lebak – Provinsi Banten, Kecamatan Cigudeg Kabupaten
Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi – Provinsi Jawa
Barat). Dan masyarakat “Sunda Wiwitan Urang Kanékés” (Baduy) di
Kabupaten Lebak – Provinsi Banten. Dalam lingkungan budaya hidup
mereka, tiap setahun sekali kujang selalu digunakan pada upacara
“Nyacar” (menebangi pepohonan untuk lahan ladang). Patokan
pelaksanaannya yaitu terpatri dalam ungkapan “Unggah Kidang Turun
Kujang”, artinya jika bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala
subuh, pertanda musim “Nyacar” sudah tiba, kujang (Kujang Pamangkas)
masanya digunakan sebagai pembuka kegiatan “Ngahuma” (berladang).
BENTUK DAN JENIS KUJANG SERTA FUNGSINYA
Pada zaman masih jayanya kerajaan Pajajaran, kujang terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya:
- Kujang Ciung; yaitu kujang yang bentuknya dianggap menyerupai burung Ciung.
- Kujang Jago; kujang yang bentuknya menyerupai ayam jago.
- Kujang Kuntul; kujang yang menyerupai burung Kuntul.
- Kujang Bangkong; kujang yang menyerupai bangkong (kodok).
- Kujang Naga; kujang yang bentuknya menyerupai naga.
- Kujang Badak; kujang berbadan lebar dianggap seperti badak.
- Kudi; perkakas sejenis kujang.
- Kujang Pusaka; yaitu kujang sebagai lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan lainnya dengan kadar kesakralannya sangat tingi seraya memiliki tuah dan daya gaib tinggi.
- Kujang Pakarang; yaitu kujang untuk digunakan sebagai alat berperang dikala diserang musuh.
- Kujang Pangarak; yaitu kujang bertangkai panjang seperti tombak sebagai alat upacara.
- Kujang Pamangkas; kujang sebagai alat pertanian (perladangan).
KELOMPOK PEMAKAI KUJANG
Meskipun perkakas kujang identik
dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran pada masa silam, namun berita
Pantun Bogor tidak menjelaskan bahwa alat itu dipakai oleh seluruh
warga masyarakat secara umum. Perkakas ini hanya digunakan oleh
kelompok tertentu, yaitu para raja, prabu anom (putera mahkota),
golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama, para puteri serta
kaum wanita tertentu, para kokolot. Sedangkan rakyat biasa hanya
menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok, congkrang, sunduk,
dsb. Kalaupun di antaranya ada yang menggunakan kujang, hanya sebatas
kujang pamangkas dalam kaitan keperluan berladang.
Setiap menak (bangsawan), para
pangagung (pejabat negara) sampai para kokolot, dalam pemilikan kujang,
tidak sembarangan memilih bentuk. Namun, hal itu ditentukan oleh
status sosialnya masing-masing. Bentuk kujang untuk para raja tidak
boleh sama dengan milik balapati. Demikian pula, kujang milik balapati
mesti berbeda dengan kujang miliknya barisan pratulup, dan seterusnya.
- Kujang Ciung mata-9: hanya dipakai khusus oleh Raja;
- Kujang Ciung mata-7: dipakai oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom;
- Kujang Ciung mata-5: dipakai oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis,dan para Bupati Pakuan;
- Kujang Jago: dipakai oleh Balapati, para Lulugu, dan Sambilan;
- Kujang Kuntul: dipakai oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu Patih Jaba, dan Patih Palaju), juga digunakan oleh para Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paséban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero).
- Kujang Bangkong: dipakai oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, Guru Cucuk;
- Kujang Naga: dipakai oleh para Kanduru, para Jaro, Jaro Awara, Tangtu, Jaro Gambangan;
- Kujang Badak: dipakai oleh para Pangwereg, para Pamatang, para Palongok, para Palayang, para Pangwelah, para Bareusan, parajurit, Paratulup, Sarawarsa, para Kokolot.
Selain diperuntukkan bagi para
pejabat tadi, kujang digunakan pula oleh kelompok agama, tetapi
kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang Ciung, yang perbedaan
tahapannya ditentukan oleh banyaknya “mata”. Kujang Ciung bagi
peruntukan Brahmesta (pendeta agung negara) yaitu yang bermata-9, sama
dengan peruntukan raja. Kujang Ciung bagi para Pandita bermata-7, para
Geurang Puun, Kujang Ciung bermata-5, para Puun Kujang Ciung bermata-3,
para Guru Tangtu Agama dan para Pangwereg Agama Kujang Ciung
bermata-1.
Di samping masing-masing memiliki
kujang tadi, golongan agama menyimpan pula Kujang Pangarak, yaitu
kujang yang bertangkai panjang yang gunanya khusus untuk
upacara-upacara sakral seperti Upacara Bakti Arakana, Upacara Kuwera
Bakti, dsb., malah kalau dalam keadaan darurat, bisa saja dipakai untuk
menusuk atau melempar musuh dari jarak jauh. Tapi fungsi utama seluruh
kujang yang dimiliki oleh golongan agama, sebagai pusaka pengayom
kesentosaan seluruh isi negara.
Kelompok lain yang juga mempunyai
kewenangan memakai kujang yaitu para wanita Menak (Bangsawan) Pakuan
dan golongan kaum wanita yang memiliki fungsi tertentu, seperti para
Puteri Raja, para Puteri Kabupatian, para Ambu Sukla, Guru Sukla, para
Ambu Geurang, para Guru Aés, dan para Sukla Mayang (Dayang Kaputrén).
Kujang bagi kaum wanita ini, biasanya hanya terdiri dari Kujang Ciung
dan Kujang Kuntul. Hal ini karena bentuknya yang langsing, tidak
terlalu “galabag” (berbadan lebar”, dan ukurannya biasanya lebih kecil
dari ukuran kujang kaum pria.
Untuk membedakan status pemiliknya,
kujang untuk kaum wanita pun sama dengan untuk kaum pria, yaitu
ditentukan oleh banyaknya mata, pamor, dan bahan yang dibuatnya. Kujang
untuk para puteri kalangan menak Pakuan biasanya kujang bermata-5,
Pamor Sulangkar, dan bahannya dari besi kuning pilihan. Sedangkan
(kujang) wanita fungsi lainnya kujang bermata-3 ke bawah malah sampai
Kujang Buta, Pamor Tutul, bahannya besi baja pilihan.
Kaum wanita Pajajaran yang bukan
menak tadi, di samping menggunakan kujang ada pula yang memakai
perkakas “khas wanita” lainnya, yaitu yang disebut Kudi, alat ini kedua
sisinya berbentuk sama, seperti tidak ada bagian perut dan punggung,
juga kedua sisinya bergerigi seperti pada kujang, ukurannya rata-rata
sama dengan ukuran “Kujang Bikang” (kujang pegangan kaum wanita),
langsing, panjang kira-kira 1 jengkal termasuk tangkainya, bahannya
semua besi-baja, lebih halus, dan tidak ada yang memamai mata.
PROSES PEMBUATAN KUJANG
Pada zamannya Kerajaan Pajajaran
Sunda masih jaya, setiap proses pembuatan benda-benda tajam dari logam
termasuk pembuatan senjata kujang, ada patokan-patokan tertentu yang
harus dipatuhi, di antaranya:
1. Patokan Waktu
Mulainya mengerjakan penempaan
kujang dan benda-benda tajam lainnya, ditandai oleh munculnya Bintang
Kerti, hal ini terpatri dalam ungkapan “Unggah kidang turun kujang,
nyuhun kerti turun beusi”, artinya ‘Bintang Kidang mulai naik di ufuk
Timur waktu subuh, pertanda masanya kujang digunakan untuk “nyacar”
(mulai berladang). Demikian pula jika Bintang Kerti ada pada posisi
sejajar di atas kepala menyamping agak ke Utara waktu subuh, pertanda
mulainya mengerjakan penempaan benda-benda tajam dari logam
(besi-baja)’. Patokan waktu seperti ini, kini masih berlaku di
lingkungan masyarakat “Urang Kanékés” (Baduy).
2. Kesucian “Guru Teupa” (Pembuat Kujang)
Seorang Guru Teupa (Penempa
Kujang), waktu mengerjakan pembuatan kujang mesti dalam keadaan suci,
melalui yang disebut “olah tapa” (berpuasa). Tanpa syarat demikian, tak
mungkin bisa menghasilkan kujang yang bermutu. Terutama sekali dalam
pembuatan Kujang Pusaka atau kujang bertuah. Di samping Guru Teupa
mesti memiliki daya estetika dan artistika tinggi, ia mesti pula
memiliki ilmu kesaktian sebagai wahana keterampilan dalam membentuk
bilah kujang yang sempurna seraya mampu menentukan “Gaib Sakti” sebagai
tuahnya.
3. Bahan Pembuatan Kujang
Untuk membuat perkakas kujang dibutuhkan bahan terdiri dari logam dan bahan lain sebagai pelengkapnya, seperti:
- Besi, besi kuning, baja, perak, atau emas sebagai bahan membuat waruga (badan kujang) dan untuk selut (ring tangkai kujang).
- Akar kayu, biasanya akar kayu Garu-Tanduk, untuk membuat ganja atau landean (tangkai kujang). Akar kayu ini memiliki aroma tertentu.
- Papan, biasanya papan kayu Samida untuk pembuatan kowak atau kopak (sarung kujang). Kayu ini pun memiliki aroma khusus.
- Emas, perak untuk pembuatan “mata” atau “pamor” kujang pusaka ataukujang para menak Pakuan dan para Pangagung tertentu. Selain itu, khusus untuk “mata” banyak pula yang dibuat dari batu permata yang indah-indah.
- Peurah” (bisa binatang) biasanya “bisa Ular Tiru”, “bisa Ular Tanah”, “Bisa Ular Gibug”, ”bisa Kelabang” atau “bisa Kalajengking”. Selain itu digunakan pula racun tumbuh-tumbuhan seperti ”getah akar Leteng” “getah Caruluk” (buah Enau) atau “serbuk daun Rarawea”, dsb. Gunanya untuk ramuan pelengkap pembuatan “Pamor”. Kujang yang berpamor dari ramuan racun-racun tadi, bisa mematikan musuh meski hanya tergores.
- Tuah “Gaib Sakti” sebagai isi, sehingga kujang memiliki tuah tertentu. Gaib ini terdiri dari yang bersifat baik dan yang bersifat jahat, bisa terdiri dari gaib Harimau, gaib Ulat, gaib Ular, gaib Siluman, dsb. Biasanya gaib seperti ini diperuntukan bagi isi kujang yang pamornya memakai ramuan racun sebagai penghancur lawan. Sedangkan untuk Kujang Pusaka, gaib sakti yang dijadikan isi biasanya para arwah leluhur atau para “Guriyang” yang memiliki sifat baik, bijak, dan bajik.
Tempat untuk membuat benda-benda
tajam dari bahan logam besi-baja, baik kudi, golok, sunduk, pisau, dsb.
Dikenal dengan sebutan Gosali, Kawesen, atau Panday. Tempat khusus
untuk membuat (menempa) perkakas kujang disebut Paneupaan.
Dalam khazanah kebudayaan masyarakat tatar Sunda, maung atau harimau merupakan simbol yang tidak asing lagi. Beberapa hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan eksistensi masyarakat Sunda dikorelasikan dengan simbol maung, baik simbol verbal maupun non-verbal seperti nama daerah (Cimacan), simbol Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi, hingga julukan bagi klub sepak bola kebanggaan warga kota Bandung (Persib) yang sering dijuluki Maung Bandung. Lantas, bagaimana asal-muasal melekatnya simbol maung pada masyarakat Sunda? Apa makna sesungguhnya dari simbol hewan karnivora tersebut?
Dalam khazanah kebudayaan masyarakat tatar Sunda, maung atau harimau merupakan simbol yang tidak asing lagi. Beberapa hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan eksistensi masyarakat Sunda dikorelasikan dengan simbol maung, baik simbol verbal maupun non-verbal seperti nama daerah (Cimacan), simbol Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi, hingga julukan bagi klub sepak bola kebanggaan warga kota Bandung (Persib) yang sering dijuluki Maung Bandung. Lantas, bagaimana asal-muasal melekatnya simbol maung pada masyarakat Sunda? Apa makna sesungguhnya dari simbol hewan karnivora tersebut?
Maung dan Legenda Siliwangi
Dunia keilmuan Antropologi mengenal teori sistem simbol yang diintrodusir oleh Clifford Geertz, seorang Antropolog Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz menguraikan makna dibalik sistem simbol yang ada pada suatu kebudayaan. Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya “Religion of Java” itu menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan kebudayaan tertentu. Jadi, bila ingin menginterpretasi sebuah kebudayaan maka dapat dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.
Sistem simbol sendiri merupakan salah satu dari tiga unsur pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya adalah sistem nilai dan sistem pengetahuan. Menurut Geertz, relasi dari ketiga sistem tersebut adalah sistem makna (System of Meaning) yang berfungsi menginterpretasikan simbol dan, pada akhirnya, dapat menangkap sistem nilai dan pengetahuan dalam suatu kebudayaan.
Simbol maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (nga-hyang) Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya pasca penyerbuan pasukan Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi. Konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnya nga-hyang. Berdasarkan kepercayaan yang hidup di sebagian masyarakat Sunda, sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan pesan atau wangsit yang dikemudian hari dikenal sebagai “wangsit siliwangi”.
Salah satu bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda adalah: “Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung”. Ada hal menarik berkaitan dengan kata-kata dalam wangsit tersebut: kata-kata itu termasuk kategori bahasa sunda yang kasar bila merujuk pada strata bahasa yang digunakan oleh masyarakat Sunda Priangan (Undak Usuk Basa). Mengapa seorang raja berucap dalam bahasa yang tergolong “kasar”? Bukti sejarah menunjukkan bahwa kemunculan undak usuk basa dalam masyarakat Sunda terjadi karena adanya hegemoni budaya dan politik Mataram yang memang kental nuansa feodal, dan itu baru terjadi pada abad 17—beberapa sekian abad pasca Prabu Siliwangi tiada atau nga-hyang. Namun tinjauan historis tersebut bukanlah bertujuan melegitimasi wangsit itu sebagai kenyataan sejarah. Bagaimanapun, masih banyak kalangan yang mempertanyakan validitas dari wangsit itu sebagai fakta sejarah, termasuk penulis sendiri.
Wangsit, yang bagi sebagian masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi kehidupan, menjadi semacam keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bermetamorfosa menjadi maung (harimau) setelah tapadrawa (bertapa hingga akhir hidup) di hutan belantara. Yang menjadi pertanyaan besar: apakah memang pernyataan atau wangsit Siliwangi itu bermakna sebenarnya ataukah hanya kiasan? Realitasnya, hingga kini masih banyak masyarakat Sunda (bahkan juga yang non-Sunda) meyakini metamorfosa Prabu Siliwangi menjadi harimau. Selain itu, wangsit tersebut juga menjadi pedoman hidup bagi sebagian orang Sunda yang menganggap sifat-sifat maung seperti pemberani dan tegas, namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku yang harus dijalani dalam kehidupan nyata.
Dari sini kita melihat terungkapnya sistem nilai dari simbol maung dalam masyarakat Sunda. Ternyata maung yang memiliki sifat-sifat seperti yang telah disebutkan sebelumnya menyimpan suatu tata nilai yang terdapat pada kebudayaan masyarakat Sunda, khususnya yang berkaitan dengan aspek perilaku (behaviour).
Kisah lain yang berkaitan dengan menjelmanya Prabu Siliwangi menjadi harimau adalah legenda hutan Sancang atau leuweung Sancang di Kabupaten Garut. Konon di hutan inilah Prabu Siliwangi beserta para loyalisnya menjelma menjadi harimau atau maung. Proses penjelmaannya pun terdapat dalam beragam versi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menjelma menjadi maung setelah menjalani tapadrawa. Tetapi ada pula sebagian masyarakat Sunda yang berkeyakinan bila Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi harimau karena keteguhan pendirian mereka untuk tidak memeluk agama Islam. Menurut kisah tersebut, Prabu Siliwangi menolak bujukan putranya yang telah menjadi Muslim, Kian Santang, untuk turut memeluk agama Islam. Keteguhan sikap itu yang mendorong penjelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi maung. Akhirnya, Prabu Siliwangi pun berubah menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjelma menjadi harimau loreng.
Hingga kini kisah harimau putih sebagai penjelmaan Siliwangi itu masih dipercayai kebenarannya oleh masyarakat di sekitar hutan Sancang. Bahkan, kisah ini menjadi semacam kearifan lokal (local wisdom). Menurut masyarakat di sekitar hutan, bila ada pengunjung hutan yang berperilaku buruk dan merusak kondisi ekologis hutan, maka ia akan “berhadapan” dengan harimau putih yang tak lain adalah Prabu Siliwangi. Tidak masuk akal memang, namun di sisi lain, hal demikian dapat dipandang sebagai sistem pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan ekologi. Masyarakat leuweung Sancang telah menyadari arti pentingnya keseimbangan ekosistem kehutanan, sehingga diperlukan instrumen pengendali perilaku manusia yang seringkali berhasrat merusak alam. Dan mitos harimau putih jelmaan Siliwangi lah yang menjadi instrumen kontrol sosial tersebut.
Namun, serangkaian kisah yang mendeskripsikan korelasi antara Prabu Siliwangi dengan mitos maung itu tetap saja menyisakan pertanyaan besar, apakah itu semua merupakan fakta sejarah? Siapa Prabu Siliwangi sebenarnya dan darimanakah mitos maung itu muncul pertama kali?
Dunia keilmuan Antropologi mengenal teori sistem simbol yang diintrodusir oleh Clifford Geertz, seorang Antropolog Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz menguraikan makna dibalik sistem simbol yang ada pada suatu kebudayaan. Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya “Religion of Java” itu menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan kebudayaan tertentu. Jadi, bila ingin menginterpretasi sebuah kebudayaan maka dapat dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.
Sistem simbol sendiri merupakan salah satu dari tiga unsur pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya adalah sistem nilai dan sistem pengetahuan. Menurut Geertz, relasi dari ketiga sistem tersebut adalah sistem makna (System of Meaning) yang berfungsi menginterpretasikan simbol dan, pada akhirnya, dapat menangkap sistem nilai dan pengetahuan dalam suatu kebudayaan.
Simbol maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (nga-hyang) Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya pasca penyerbuan pasukan Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi. Konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnya nga-hyang. Berdasarkan kepercayaan yang hidup di sebagian masyarakat Sunda, sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan pesan atau wangsit yang dikemudian hari dikenal sebagai “wangsit siliwangi”.
Salah satu bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda adalah: “Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung”. Ada hal menarik berkaitan dengan kata-kata dalam wangsit tersebut: kata-kata itu termasuk kategori bahasa sunda yang kasar bila merujuk pada strata bahasa yang digunakan oleh masyarakat Sunda Priangan (Undak Usuk Basa). Mengapa seorang raja berucap dalam bahasa yang tergolong “kasar”? Bukti sejarah menunjukkan bahwa kemunculan undak usuk basa dalam masyarakat Sunda terjadi karena adanya hegemoni budaya dan politik Mataram yang memang kental nuansa feodal, dan itu baru terjadi pada abad 17—beberapa sekian abad pasca Prabu Siliwangi tiada atau nga-hyang. Namun tinjauan historis tersebut bukanlah bertujuan melegitimasi wangsit itu sebagai kenyataan sejarah. Bagaimanapun, masih banyak kalangan yang mempertanyakan validitas dari wangsit itu sebagai fakta sejarah, termasuk penulis sendiri.
Wangsit, yang bagi sebagian masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi kehidupan, menjadi semacam keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bermetamorfosa menjadi maung (harimau) setelah tapadrawa (bertapa hingga akhir hidup) di hutan belantara. Yang menjadi pertanyaan besar: apakah memang pernyataan atau wangsit Siliwangi itu bermakna sebenarnya ataukah hanya kiasan? Realitasnya, hingga kini masih banyak masyarakat Sunda (bahkan juga yang non-Sunda) meyakini metamorfosa Prabu Siliwangi menjadi harimau. Selain itu, wangsit tersebut juga menjadi pedoman hidup bagi sebagian orang Sunda yang menganggap sifat-sifat maung seperti pemberani dan tegas, namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku yang harus dijalani dalam kehidupan nyata.
Dari sini kita melihat terungkapnya sistem nilai dari simbol maung dalam masyarakat Sunda. Ternyata maung yang memiliki sifat-sifat seperti yang telah disebutkan sebelumnya menyimpan suatu tata nilai yang terdapat pada kebudayaan masyarakat Sunda, khususnya yang berkaitan dengan aspek perilaku (behaviour).
Kisah lain yang berkaitan dengan menjelmanya Prabu Siliwangi menjadi harimau adalah legenda hutan Sancang atau leuweung Sancang di Kabupaten Garut. Konon di hutan inilah Prabu Siliwangi beserta para loyalisnya menjelma menjadi harimau atau maung. Proses penjelmaannya pun terdapat dalam beragam versi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menjelma menjadi maung setelah menjalani tapadrawa. Tetapi ada pula sebagian masyarakat Sunda yang berkeyakinan bila Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi harimau karena keteguhan pendirian mereka untuk tidak memeluk agama Islam. Menurut kisah tersebut, Prabu Siliwangi menolak bujukan putranya yang telah menjadi Muslim, Kian Santang, untuk turut memeluk agama Islam. Keteguhan sikap itu yang mendorong penjelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi maung. Akhirnya, Prabu Siliwangi pun berubah menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjelma menjadi harimau loreng.
Hingga kini kisah harimau putih sebagai penjelmaan Siliwangi itu masih dipercayai kebenarannya oleh masyarakat di sekitar hutan Sancang. Bahkan, kisah ini menjadi semacam kearifan lokal (local wisdom). Menurut masyarakat di sekitar hutan, bila ada pengunjung hutan yang berperilaku buruk dan merusak kondisi ekologis hutan, maka ia akan “berhadapan” dengan harimau putih yang tak lain adalah Prabu Siliwangi. Tidak masuk akal memang, namun di sisi lain, hal demikian dapat dipandang sebagai sistem pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan ekologi. Masyarakat leuweung Sancang telah menyadari arti pentingnya keseimbangan ekosistem kehutanan, sehingga diperlukan instrumen pengendali perilaku manusia yang seringkali berhasrat merusak alam. Dan mitos harimau putih jelmaan Siliwangi lah yang menjadi instrumen kontrol sosial tersebut.
Namun, serangkaian kisah yang mendeskripsikan korelasi antara Prabu Siliwangi dengan mitos maung itu tetap saja menyisakan pertanyaan besar, apakah itu semua merupakan fakta sejarah? Siapa Prabu Siliwangi sebenarnya dan darimanakah mitos maung itu muncul pertama kali?
Kekeliruan Tafsir
Bila kita telusuri secara mendalam, niscaya tidak akan ditemukan bukti sejarah yang menghubungkan Prabu Siliwangi atau Kerajaan Pajajaran dengan simbol harimau. Adapun yang mengatakan bahwa harimau pernah menjadi simbol Pajajaran adalah salah satu tokoh Sunda sekaligus orang dekat Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional), Dadang Ibnu. Tetapi, lagi-lagi, tidak ada bukti sejarah Sunda yang dapat memperkuat hipotesa ini, baik itu Carita Parahyangan, Siksakanda Karesian, ataupun Wangsakerta. Bahkan mengenai lambang Kerajaan Pajajaran pun masih debatable, dikarenakan ada beragam versi lain yang mengemuka menyangkut lambang Pajajaran.
Problem lain yang muncul berkaitan dengan kebenaran sejarah “maung Siliwangi” tersebut ialah rentang waktu yang cukup jauh antara masa ketika Prabu Siliwangi hidup dan memerintah dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang dalam mitos maung berakhir dengan penjelmaan Siliwangi dan para pengikut Pajajaran menjadi harimau di hutan Sancang. Penting untuk diketahui bahwa secara etimologis, Siliwangi, yang terdiri dari dua suku kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai pengganti Prabu Wangi. Menurut para pujangga Sunda di masa lampau, Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa di Kerajaan Sunda-Galuh (ketika itu belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371-1475. Lalu, nama Siliwangi yang berarti pengganti Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata yang berkuasa pada periode 1482-1521 dianggap mewarisi kebesaran Wastukancana oleh karena berhasil mempersatukan kembali Sunda-Galuh dalam satu naungan kerajaan Pajajaran. Sebelum Prabu Jayadewata berkuasa, Kerajaan Sunda-Galuh sempat terpecah. Putra Wastukancana (sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya menjadi penguasa kerajaan Galuh.
Dipersatukannya kembali Sunda dan Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran kakeknya, Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan atau pujangga Sunda ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata. Siliwangi memiliki arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi, raja Sunda Pajajaran yang dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu kapan sebenarnya Kerajaan Pajajaran runtuh? Apakah pada masa Prabu Jayadewata atau Siliwangi? Ternyata, sejarah mencatat ada lima raja lagi yang memerintah sepeninggal Prabu Jayadewata. Berikut ini periodisasi penerintahan raja-raja Pajajaran pasca wafatnya Jayadewata alias Siliwangi :
1.) Prabu Surawisesa (1521-1535)
2.) Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3.) Ratu Sakti (1543-1551)
4.) Prabu Nilakendra (1551-1567)
5.) Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada masa pemerintahan Raga Mulya lah, tepatnya tahun 1579, Kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf. Peristiwa tersebut tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219, sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakala.
Artinya :
Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Kemudian bagaimana nasib Prabu Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa Prabu Raga Mulya beserta para pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan kerajaan Pajajaran terjadi pada tahun 1579 atau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu Siliwangi tidak pernah mengalami keruntuhan Kerajaan yang telah dipersatukannya. Raja yang mengalami kehancuran Kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi atau janggawareng nya Prabu Siliwangi. Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur dalam perang mempertahankan kedaulatan negerinya dari agresi Banten. Jadi, raja Pajajaran terakhir ini memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini masyarakat Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian bukti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi dan sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau hanya sekedar mitos dan bukan fakta sejarah.
Bila bukan fakta sejarah, darimana sebenarnya mitos maung yang selalu melekat pada kisah Siliwangi dan Pajajaran itu berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik terang bila meninjau laporan ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada Gubernur Jenderal VOC, Joanes Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan (daerah Batutulis Bogor sekarang). Laporan penelitian yang ditulis pada tanggal 23 Desember 1687 tersebut berbunyi “dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort”, yang artinya: bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Bahkan kabarnya salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi korban terkaman harimau ketika sedang melakukan tugasnya.
Temuan lapangan ekspedisi Scipio itu mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan tahun sebelumnya merupakan pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi sarang harimau. Hal inilah yang menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan penduduk sekitar Pakuan mengenai hubungan antara keberadaan harimau dan hilangnya Kerajaan Pajajaran. Berbasiskan pada laporan Scipio ini, dapat disimpulkan bila mitos maung lahir karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat dalam menafsirkan realitas.
Sesungguhnya, keberadaan harimau di pusat Kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh, mengingat kawasan tersebut sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian besar penduduknya di penghujung masa kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi penelitian. Sepeninggal para penduduk dan petinggi kerajaan, wilayah Pakuan berangsur-angsur menjadi hutan. Bukanlah suatu hal yang aneh bila akhirnya banyak harimau bercokol di kawasan yang telah berubah rupa menjadi leuweung tersebut.
Bila kita telusuri secara mendalam, niscaya tidak akan ditemukan bukti sejarah yang menghubungkan Prabu Siliwangi atau Kerajaan Pajajaran dengan simbol harimau. Adapun yang mengatakan bahwa harimau pernah menjadi simbol Pajajaran adalah salah satu tokoh Sunda sekaligus orang dekat Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional), Dadang Ibnu. Tetapi, lagi-lagi, tidak ada bukti sejarah Sunda yang dapat memperkuat hipotesa ini, baik itu Carita Parahyangan, Siksakanda Karesian, ataupun Wangsakerta. Bahkan mengenai lambang Kerajaan Pajajaran pun masih debatable, dikarenakan ada beragam versi lain yang mengemuka menyangkut lambang Pajajaran.
Problem lain yang muncul berkaitan dengan kebenaran sejarah “maung Siliwangi” tersebut ialah rentang waktu yang cukup jauh antara masa ketika Prabu Siliwangi hidup dan memerintah dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang dalam mitos maung berakhir dengan penjelmaan Siliwangi dan para pengikut Pajajaran menjadi harimau di hutan Sancang. Penting untuk diketahui bahwa secara etimologis, Siliwangi, yang terdiri dari dua suku kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai pengganti Prabu Wangi. Menurut para pujangga Sunda di masa lampau, Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa di Kerajaan Sunda-Galuh (ketika itu belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371-1475. Lalu, nama Siliwangi yang berarti pengganti Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata yang berkuasa pada periode 1482-1521 dianggap mewarisi kebesaran Wastukancana oleh karena berhasil mempersatukan kembali Sunda-Galuh dalam satu naungan kerajaan Pajajaran. Sebelum Prabu Jayadewata berkuasa, Kerajaan Sunda-Galuh sempat terpecah. Putra Wastukancana (sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya menjadi penguasa kerajaan Galuh.
Dipersatukannya kembali Sunda dan Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran kakeknya, Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan atau pujangga Sunda ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata. Siliwangi memiliki arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi, raja Sunda Pajajaran yang dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu kapan sebenarnya Kerajaan Pajajaran runtuh? Apakah pada masa Prabu Jayadewata atau Siliwangi? Ternyata, sejarah mencatat ada lima raja lagi yang memerintah sepeninggal Prabu Jayadewata. Berikut ini periodisasi penerintahan raja-raja Pajajaran pasca wafatnya Jayadewata alias Siliwangi :
1.) Prabu Surawisesa (1521-1535)
2.) Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3.) Ratu Sakti (1543-1551)
4.) Prabu Nilakendra (1551-1567)
5.) Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada masa pemerintahan Raga Mulya lah, tepatnya tahun 1579, Kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf. Peristiwa tersebut tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219, sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakala.
Artinya :
Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Kemudian bagaimana nasib Prabu Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa Prabu Raga Mulya beserta para pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan kerajaan Pajajaran terjadi pada tahun 1579 atau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu Siliwangi tidak pernah mengalami keruntuhan Kerajaan yang telah dipersatukannya. Raja yang mengalami kehancuran Kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi atau janggawareng nya Prabu Siliwangi. Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur dalam perang mempertahankan kedaulatan negerinya dari agresi Banten. Jadi, raja Pajajaran terakhir ini memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini masyarakat Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian bukti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi dan sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau hanya sekedar mitos dan bukan fakta sejarah.
Bila bukan fakta sejarah, darimana sebenarnya mitos maung yang selalu melekat pada kisah Siliwangi dan Pajajaran itu berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik terang bila meninjau laporan ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada Gubernur Jenderal VOC, Joanes Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan (daerah Batutulis Bogor sekarang). Laporan penelitian yang ditulis pada tanggal 23 Desember 1687 tersebut berbunyi “dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort”, yang artinya: bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Bahkan kabarnya salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi korban terkaman harimau ketika sedang melakukan tugasnya.
Temuan lapangan ekspedisi Scipio itu mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan tahun sebelumnya merupakan pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi sarang harimau. Hal inilah yang menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan penduduk sekitar Pakuan mengenai hubungan antara keberadaan harimau dan hilangnya Kerajaan Pajajaran. Berbasiskan pada laporan Scipio ini, dapat disimpulkan bila mitos maung lahir karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat dalam menafsirkan realitas.
Sesungguhnya, keberadaan harimau di pusat Kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh, mengingat kawasan tersebut sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian besar penduduknya di penghujung masa kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi penelitian. Sepeninggal para penduduk dan petinggi kerajaan, wilayah Pakuan berangsur-angsur menjadi hutan. Bukanlah suatu hal yang aneh bila akhirnya banyak harimau bercokol di kawasan yang telah berubah rupa menjadi leuweung tersebut.
Kesimpulan
Mitos maung yang dilekatkan pada sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran pun sudah terpatahkan oleh serangkaian bukti dan catatan sejarah yang telah penulis uraikan. Memang sebagai sebuah sistem simbol, maung telah melekat pada kebudayaan masyarakat Sunda. Simbol dan mitos maung juga menyimpan filosofi serta berfungsi sebagai sistem pengetahuan masyarakat berkaitan dengan lingkungan alam. Hal demikian tentu harus kita apresiasi sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Sunda.
Namun sebagai sebuah fakta sejarah, identifikasi maung sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan pengikutnya merupakan kekeliruan dalam menafsirkan sejarah. Hal inilah yang perlu diluruskan agar generasi berikutnya, khususnya generasi baru etnis Sunda, tidak memiliki persepsi yang keliru dengan menganggap mitos maung Siliwangi sebagai realitas sejarah.
Kekeliruan mitos maung hanya salah satu dari sekian banyak ”pembengkokkan” sejarah di negeri ini yang perlu diluruskan. Hendaknya kita jangan takut menerima realitas sejarah yang mungkin berlawanan dengan keyakinan kita selama ini, karena sebuah bangsa yang tidak takut melihat kebenaran masa lalu dan berani memperbaikinya demi melangkah menuju masa depan akan menjelma menjadi bangsa yang memiliki kepribadian tangguh. Terima kasih.
Mitos maung yang dilekatkan pada sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran pun sudah terpatahkan oleh serangkaian bukti dan catatan sejarah yang telah penulis uraikan. Memang sebagai sebuah sistem simbol, maung telah melekat pada kebudayaan masyarakat Sunda. Simbol dan mitos maung juga menyimpan filosofi serta berfungsi sebagai sistem pengetahuan masyarakat berkaitan dengan lingkungan alam. Hal demikian tentu harus kita apresiasi sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Sunda.
Namun sebagai sebuah fakta sejarah, identifikasi maung sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan pengikutnya merupakan kekeliruan dalam menafsirkan sejarah. Hal inilah yang perlu diluruskan agar generasi berikutnya, khususnya generasi baru etnis Sunda, tidak memiliki persepsi yang keliru dengan menganggap mitos maung Siliwangi sebagai realitas sejarah.
Kekeliruan mitos maung hanya salah satu dari sekian banyak ”pembengkokkan” sejarah di negeri ini yang perlu diluruskan. Hendaknya kita jangan takut menerima realitas sejarah yang mungkin berlawanan dengan keyakinan kita selama ini, karena sebuah bangsa yang tidak takut melihat kebenaran masa lalu dan berani memperbaikinya demi melangkah menuju masa depan akan menjelma menjadi bangsa yang memiliki kepribadian tangguh. Terima kasih.
Nara Sumber:
Sampurasun..
HISKI DARMAYANA, Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan Alumni Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran.
Sampurasun..
HISKI DARMAYANA, Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan Alumni Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran.
Persepsi Saya :
Kujang
Terlepas dari cerita Prabu Siliwangi dengan senjata Kujang-nya apakah mitos ataupun tidak atau istilah lain dari para cendikiawan pintar menyikapi senjata tersebut, tidak perlu kita persoalkan, namun kita sebagai orang Sunda yang mencintai Jawa Barat ini, di tanah Parahyangan ini, kita harus tahu diri, jangan gengsi mengakuinya hanya karena kita lulusan Unversitas OXFORD, UCLA, HARPARD, MICHIGAN, dll, yang kaya akan teori2 berdasarkan penelitian lokus tanah negeri mereka, dan bertentangan dengan budaya negeri kita, yang pasti kita tidak akan dapat terlepas dari ciri dan identitas yang turun temurun dari nenek moyang kita, sebagai orang sunda, kita harus bijaksana dalam berpikir dan bertindak, Kujang merupakan tradisi leluhur dari para sesepuh di Jawa Barat, wajib kita hormati dan kita lestarikan keberadaanya, disikapi dengan baik sebagai salah satu kekayaan budaya dan tradisi leluhur kita.
Kujang sebagai simbol Jawa Barat bukan berarti harus kita sembah ataupun kita dewa2kan, namun kita cermati sebagai salah satu identitas budaya dan tradisi nenek moyang kita, betapa luhurnya budaya nenek moyang kita di jaman tersebut, hingga mampu membuat seni senjata pusaka sejenis itu, kita bayangkan bagaimana cara mereka hidup dengan kujang tersebut, bagaimana mereka mempertahankan tanah Parahyangan dengan senjata kujang tersebut, hingga kita ikut menikmati keberadaan Jawa Barat ini, sebagai salah satu hasil perjuangan nenek moyang kita di masa itu, yang mempertahankannya menggunakan senjata kujang.
Banyak cara dari orang2 yang tak bertanggungjawab, yang selama ini tidak dapat kita rasakan secara langsung, untuk mengurangi rasa cinta kita kepada jawa barat ini, yang diantaranya :
1. Menjauhkan bahasa daerah (salah satunya Bhs Sunda) dari anak2 kita,
2. Mengecam nilai seni budaya leluhur kita (Senjata Kujang) agar masyarakat jawa barat ini kehilangan identitas dan tradisi mereka dengan menjauh dan menghlangkan simbol tersebut.
Terlepas dari cerita Prabu Siliwangi dengan senjata Kujang-nya apakah mitos ataupun tidak atau istilah lain dari para cendikiawan pintar menyikapi senjata tersebut, tidak perlu kita persoalkan, namun kita sebagai orang Sunda yang mencintai Jawa Barat ini, di tanah Parahyangan ini, kita harus tahu diri, jangan gengsi mengakuinya hanya karena kita lulusan Unversitas OXFORD, UCLA, HARPARD, MICHIGAN, dll, yang kaya akan teori2 berdasarkan penelitian lokus tanah negeri mereka, dan bertentangan dengan budaya negeri kita, yang pasti kita tidak akan dapat terlepas dari ciri dan identitas yang turun temurun dari nenek moyang kita, sebagai orang sunda, kita harus bijaksana dalam berpikir dan bertindak, Kujang merupakan tradisi leluhur dari para sesepuh di Jawa Barat, wajib kita hormati dan kita lestarikan keberadaanya, disikapi dengan baik sebagai salah satu kekayaan budaya dan tradisi leluhur kita.
Kujang sebagai simbol Jawa Barat bukan berarti harus kita sembah ataupun kita dewa2kan, namun kita cermati sebagai salah satu identitas budaya dan tradisi nenek moyang kita, betapa luhurnya budaya nenek moyang kita di jaman tersebut, hingga mampu membuat seni senjata pusaka sejenis itu, kita bayangkan bagaimana cara mereka hidup dengan kujang tersebut, bagaimana mereka mempertahankan tanah Parahyangan dengan senjata kujang tersebut, hingga kita ikut menikmati keberadaan Jawa Barat ini, sebagai salah satu hasil perjuangan nenek moyang kita di masa itu, yang mempertahankannya menggunakan senjata kujang.
Banyak cara dari orang2 yang tak bertanggungjawab, yang selama ini tidak dapat kita rasakan secara langsung, untuk mengurangi rasa cinta kita kepada jawa barat ini, yang diantaranya :
1. Menjauhkan bahasa daerah (salah satunya Bhs Sunda) dari anak2 kita,
2. Mengecam nilai seni budaya leluhur kita (Senjata Kujang) agar masyarakat jawa barat ini kehilangan identitas dan tradisi mereka dengan menjauh dan menghlangkan simbol tersebut.
Katana Sword
Orang jepang sampai kini masih menjunjung tinggi budaya kuno mereka, walaupun mereka memiliki system teknologi yang super canggih, namun mereka tidak pernah melupakan tradisi dan jati diri mereka, bahkan mereka menjaganya sedemikian rupa melalui penyebaran2 seni beladiri keseluruh dunia, jepang tidak pernah melepaskan senjata khas mereka, dengan menyertakannya ke setiap cabang ilmu beladiri yang mereka populerkan ke seluruh negeri internasional. Salah satunya dengan melestarikan pedang legendanya yaitu Pedang Katana, itupun terdapat tingkatan2 yang harus di lalui bagi yang mempelajarinya, melalui tradisi2 kuno mereka, harga tradisi kuno yang tiada ternilai dengan ukuran uang, namun mereka juga tidak menyembahnya.
Orang jepang sampai kini masih menjunjung tinggi budaya kuno mereka, walaupun mereka memiliki system teknologi yang super canggih, namun mereka tidak pernah melupakan tradisi dan jati diri mereka, bahkan mereka menjaganya sedemikian rupa melalui penyebaran2 seni beladiri keseluruh dunia, jepang tidak pernah melepaskan senjata khas mereka, dengan menyertakannya ke setiap cabang ilmu beladiri yang mereka populerkan ke seluruh negeri internasional. Salah satunya dengan melestarikan pedang legendanya yaitu Pedang Katana, itupun terdapat tingkatan2 yang harus di lalui bagi yang mempelajarinya, melalui tradisi2 kuno mereka, harga tradisi kuno yang tiada ternilai dengan ukuran uang, namun mereka juga tidak menyembahnya.
Bagaimana dengan masyarakat Jawa Barat ?
Mitos atau tidak kita serahkan kepada persepsi masing2, kita tidak bisa memaksakan cara berpikir kita kepada orang lain atas pendirian mereka.
yang penting kita jangan melupakan diri kita ini..sehingga jangan sampai kita tidak tahu diri kita ini siapa...dari mana...turunan apa...dll. sehingga mongkleng sampai anak incu urang balarea.
Mitos atau tidak kita serahkan kepada persepsi masing2, kita tidak bisa memaksakan cara berpikir kita kepada orang lain atas pendirian mereka.
yang penting kita jangan melupakan diri kita ini..sehingga jangan sampai kita tidak tahu diri kita ini siapa...dari mana...turunan apa...dll. sehingga mongkleng sampai anak incu urang balarea.
Sampurasun..:
Dedi M
Dedi M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar